This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Nias

Thursday, September 26, 2013

Nias (Tanö Niha)



Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah).
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.


Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.
Dalam budaya Ono Niha (Nias) terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama.


 

Friday, September 20, 2013

Septuaginta



Septuaginta adalah terjemahan kitab-kitab dalam Alkitab Ibrani atau Tanakh, yang juga merupakan bagian Perjanjian Lama di Alkitab Kristen, dari bahasa Ibrani (ditulis dalam huruf Ibrani Kuno) ke dalam bahasa Yunani gaya Koine pada abad ke-3 SM. Terjemahan ini disebut "septuaginta" yang dalam bahasa Yunani artinya adalah 70 (tujuh puluh) dan sering ditulis sebagai "LXX" karena konon disusun 70 orang imam Yahudi yang ditugaskan oleh Ptolemaios II Philadelphos (285 - 247 SM), raja Mesir untuk dimasukkan ke Perpustakaan Alexandria (Iskandariyah). Naskah ini memasukkan sejumlah terjemahan kuno yang ada saat itu dan dalam dunia ilmiah diberi kode naskah atau G 

Septuaginta pada awalnya hanyalah terjemahan dari Taurat, yaitu lima kitab pertama dalam Alkitab yang merupakan kitab suci orang Yahudi dan diyakini hasil susunan Musa. Bahasa Yunani Koine merupakan bahasa umum (lingua franca) di daerah Laut Tengah pada zaman sejak matinya Aleksander Agung (tahun 323 SM) sampai berdirinya kerajaan Bizantin Yunani (~tahun 600 M). Karena kemudian ditemukan berisi terjemahan lengkap seluruh Alkitab Ibrani, maka dalam perkembangan agama Kristen disebut sebagai Perjanjian Lama Kristen atau Perjanjian Lama Yunani ("Greek Old Testament").
Pada kenyataannya Septuaginta dikerjakan oleh 72 orang pakar yang mengenal baik tentang hukum-hukum Yahudi dan mampu menterjemahkan dengan baik ke dalam bahasa Yunani. Ada juga yang mengatakan bahwa ke 72 orang tersebut berasal dari 6 orang dari tiap suku Israel yang berjumlah 12 (6 x 12 = 72), tetapi pendapat ini masih perlu dipertanyakan (baca: Important Early Translations of the Bible)

Pada abad 19 dan abad 20 tersedia banyak sekali translasi Alkitab ke dalam berbagai bahasa. Namun sebelumnya, Alktab yang tersedia hanya terdapat dalam beberapa penerjemahan saja. Penerjemahan Alkitab mula-mula terjadi ke dalam bahasa Yunani yaitu Septuaginta tercatat dari abad ke 3 hingga ke 2 sebelum Kristus (abad ke-3 sampai abad ke-2 SM). Bukan hanya sebagai terjemahan yang tertua tetapi juga bermanfaat sebagi penghubung antara kitab Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru yang menggunakan bahasa Yunani sebagai bahasa penulisannya. Alasan sebenarnya untuk melaksanakan penerjemahan ini adalah untuk memenuhi keperluan pendidikan dan liturgis dari komunitas Yahudi di Aleksandria yang jumlahnya cukup besar. Kebanyakan dari mereka telah lupa bahasa Ibrani atau telah tumbuh dan berbicara sehari-hari dengan bahasa Yunani Umum. Tetapi mereka adalah orang Yahudi dan ingin mengerti Kitab-kitab suci Tua, dimana tempat bergantungnya Iman dan Hidup mereka. Kepentingan Septuaginta sangat jelas. Disamping sebagai terjemahan pertama yang pernah di buat dari Kitab berbahasa Ibrani, juga merupakan media untuk membawa pemikiran keagamaan orang-orang Ibrani kepada dunia. Septuaginta juga merupakan Kitab yang digunakan pada masa Jemaat Kristen mula-mula, dan para penulis Perjanjian Baru sering mengutip dari Septuaginta. Pengaruh lanjutan dari Septuaginta juga membuat Origen menggabungkan Septuaginta ke dalam karyanya bernama Hexapla, yaitu edisi kesarjanaan yang cukup rumit dari Perjanjian Lama. Berabad-abad Septuaginta memiliki pengaruh yang luas, seperti menjadi dasar penerjemahan Perjanjian Lama ke dalam bahasa Latin, Koptik, Gothic, Armenian, Georgia, Etiopia, Aram Kristen Palestina, Syria, Arab, dan Slavonic. Dan yang paling terpenting saat ini digunakan Otoritas dalam teks alkitabiah dari Perjanjian Lama bagi Gereja Ortodok Yunani.
.

DOKMATIKA



PENDAHULUAN
Definisi Istilah
Istilah “dogma” berasal dari kata Yunani dan Latin, yang berarti “hal yang dipegang sebagai suatu opini” atau bisa juga menunjuk pada “suatu doktrin atau badan dari doktrin-doktrin teologi dan agama yang secara formal dinyatakan dan diproklamasikan sebagai suatu yang berotoritas oleh gereja.” Istilah ini bukanlah istilah yang asing bagi Alkitab sebab dalam Perjanjian Baru ada beberapa ayat yang menyebutkan kata dogma, dengan berbagai variasi pengertian. Enam di antaranya adalah:
  • Lukas 2:1; Kisah Para Rasul 17:7; Ibrani 11:23 dengan arti ketetapan, perintah dari kaisar atau raja
  • Efesus 2:15; Kolose 2:14 dengan arti perintah hukum, ketentuan hukum, yang berasal dari Musa
  • Kisah 16:4 dengan arti keputusan Kristen
Dalam ayat Kisah 16:4 dijelaskan oleh Lukas bahwa Paulus dan Silas berjalan keliling di Asia dari kota ke kota sambil menyampaikan dogmata (keputusan-keputusan) yang diambil oleh para rasul dan para penatua di Yerusalem dengan pesan supaya jemaat menurutinya. Keputusan-keputusan ini menyangkut baik “ajaran Kristen,” yaitu kebebasan dari kuk Hukum Musa yang telah digenapi oleh Yesus Kristus maupun “kehidupan Kristen,” yakni menjauhkan diri dari makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala, dari percabulkan, dari daging binatang yang mati lemas dan dari darah (bandingkan Kisah Para Rasul 15:20, 29).
Pengakuan Petrus yang dicatat dalam Matius 16:16 pun dapat dikatagorikan sebagai dogma. Ia menyatakan Yesus adalah Kristus, Anak Allah yang hidup ketika Yesus bertanya kepada murid-murid siapa Ia di mata mereka. Jawaban Petrus ini merupakan suatu konfesi dalam bentuk yang pendek dan sederhana. Dengan seiring perjalanan waktu, dogma tidaklah mungkin lagi seperti itu. Terjadi perkembangan dalam dogmatika yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ditemui.

Sejarah Perkembangan Dogmatika
Istilah “dogmatika” diperkenalkan pertama kali pada abad ke-17, tepatnya tahun 1659, ketika L. Fr. Reinhart menulis sebuah buku teologis yang berjudul Synopsis Teologie ae (Ikhtisar Teologi Dogmatis). Pada awalnya apa yang disebut dogmatika pada saat ini memiliki berbagai istilah, tergantung pada individu yang mengembangkannya.
Pada perkembangan selanjutnya, di abad kedelapan belas, S. J. Baumgarten menerbitkan bukunya dengan judul Evangelische Glaubenslehre (Ajaran Iman Evangelis 1759-1760), yang memperkenalkan nama “ajaran iman,” yang lalu diikuti oleh F. D. E. Schleiermacher, penulis buku Der Christliche Glaube (Iman Kristen I, II) tahun 1821-1822.
Bapak-bapak Rasuli dan kaum apologet abad kedua dan abad ketiga sesudah Kristus secara langsung memihak kepada penggunaan kata dogma yang nyata dalam Kisah Para Rasul 16:4. Mereka juga tidak hanya menghubungkan kata ini dengan “ajaran Kristen”, melainkan juga dengan “kehidupan Kristen.”
Namun kemudian dalam perkembangan selanjutnya, kata “dogma” lebih sering dihubungkan dengan “ajaran Kristen” bahkan “ajaran gereja-gereja” daripada “kehidupan Kristen.” Terjadi suatu proses yang menyebabkan terjadinya pemisahan yang hebat antara “kehidupan” dan “ajaran” bahkan antara “praktek” dan “teori” dan menyamaratakan dogma dengan “ajaran gereja.” Hal ini tampak jelas terutama di dalam gereja Katolik Roma. Dalam karangan I Klug umpamanya, seorang teolog Roma yang termasyur pada masa antara perang dunia yang pertama dan yang kedua, ia mendefinisikan dogma sebagai “sebuah dalil yang dinyatakan oleh gereja sebagai kebenaran wahyu dan yang pada waktu yang sama dirumuskan.”

Tempat Dogmatika Di Dalam Seluruh Ilmu Teologi
Dogmatika dapat diumpamakan sebagai ranting dalam “pohon” ilmu teologi. Ada banyak ranting di dalam “pohon” tersebut yang juga disebut teologi sehingga masing-masing ranting itu kemudian perlu memakai nama sifat, umpamanya historika, praktika dan lain-lain. Maka nama-nama ini disebut teologi historika, teologi praktika, teologi biblika, teologi dogmatika dan sebagainya.
Istilah “dogmatika” maupun “teologi” sering dipertukarkan dan dikacaukan dalam penggunaannya sehingga terjadi kerancuan. Padahal dalam bentuk yang sederhananya, istilah ini artinya “perintah”, “ketetapan,” “keputusan,” “resolusi,” “doktrin,” “opini” dan “azas.” Kata kerja dalam bahasa Yunani untuk istilah “dogma” ini adalah dogmatizo, artinya menetapkan atau menitahkan.
Sumber dogmatika adalah Alkitab, seperti halnya juga dengan teologia. Tapi penekanan dalam dogmatika adalah penetapan atau keputusan gereja tentang pokok-pokok ajaran Kristen. Itu sebabnya denominasi-denominasi gereja dapat memiliki dogma masing-masing yang berbeda dan bahkan mungkin ada bagian-bagian yang bertentangan. Sedangkan teologia mempunyai cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan dogmatika sebab tidak dibatasi oleh tembok-tembok denominasi. Karena itu dalam perkembangan kemudian, dogmatika diterima sebagai suatu cabang dari teologi.

Metode Dogmatika
Metode yang harus dipakai dalam merumuskan dan mempelajari dogma adalah sebagai berikut:
1) Memandang Kitab Suci sebagai sumber dogmatika.
2) Tidak objektif. Ada pautan, penunjuk arah yang harus dipakai oleh penyelidik dogmatika, yaitu pengakuan gereja, agar tidak sia-sia saja dan agar dogmatika dapat memperkaya pengakuan-pengakuan gereja dan tidak malah mempermiskinkannya. Meskipun, kalau perlu, pengakuan dapat dikritik jua.
3) Orang yang mengerjakan juga harus dipandang penting. Dengan singkat harus dinyatakan, bahwa orang yang menyelidiki dogmatika harus percaya akan Kitab Suci sebagai firman Tuhan. Metode yang dianjurkan banyak orang dan yang kelihatannya secara ilmiah, yaitu dengan dasar keobjektifan sebenarnya tidak mungkin dipakai sebab:
a) Keobjektifan di dalam agama tidak mungkin. Kita tak dapat berdiri di luar segala agama, kemudian menyelidiki agama itu.
b) Orang yang tidak percaya tidak dapat membicarakan kepercayaan
c) Cara objektif merendahkan penyataan Tuhan sebab menjadikan pernyataan ini relatif. Dengan demikian kesimpulan dapat ditarik, bahwa orang yang mempelajari dogmatika itu harus orang yang percaya akan Kitab Suci sebagai Firman Tuhan.